Archive for the ‘Hina Kelana’ Category

Hina Kelana: Bab 1. Si Gadis Penjual Arak

17/09/2009

Di depan sebuah gedung megah yang dibangun di jalan raya pintu gerbang barat kota Hokciu di provinsi Hokkian terdapat dua altar batu di kanan-kiri, di atas altar-altar batu itu masing-masing menjulang tinggi sebuah tiang bendera, dua helai bendera hijau tampak berkibar-kibar tertiup angin. Bendera sebelah kiri bersulamkan seekor singa jantan yang garang, bendera yang lain bersulamkan empat huruf yang berbunyi “Hok-wi-piaukiok”, huruf-huruf yang indah dan kuat itu terang ditulis oleh kaum ahli yang ternama.

Pintu gerbang gedung itu bercat merah dengan hiasan paku-paku tembaga yang besar dan digosok mengilat. Di atas pintu terdapat sebuah papan merek berdasar hitam dan berhuruf kuning emas yang tertulis “Hok-wi-piaukiok” (perusahaan pengawalan Hok-wi), di bawah huruf-huruf besar itu terlintang pula dua huruf lebih kecil yang berbunyi “Kantor Pusat”. (more…)

Hina Kelana: Bab 2. Kematian Para Piauthau Secara Ganjil

17/09/2009

Tan Jit coba mendekati mayat orang she Ih itu dan menendangnya sekali sehingga mayat itu terbalik ke atas. Darah tampak masih mengucur keluar dari luka di bagian perut. “Inilah ganjaranmu, mungkin kau memang sudah bosan hidup, maka kau berani mengusik Siaupiauthau kami?!” Baru pertama kali inilah Peng-ci membunuh orang, keruan air mukanya pucat saking takutnya. Katanya dengan gemetar, “Su … Su-piauthau … bagai … bagaimana baiknya ini! Sesungguhnya aku … aku tidak bermaksud membunuh dia!” (more…)

Hina Kelana: Bab 3. Keajaiban di Kebun Sayur

17/09/2009

Cerita-cerita dan contoh yang dikemukakan ayahnya itu selalu dijadikan pedoman dan senantiasa berlaku waspada. Sebab itulah Cin-lam telah mengadakan pengawasan yang sangat ketat terhadap gerak-gerik dan tingkah laku para Piausu yang dia terima.

Begitulah, sesudah agak lama kemudian, dua tukang kawal tampak masuk dengan tergesa-gesa, mereka lantas melapor, “Congpiauthau, Su-piauthau juga ti … tidak diketemukan di tempat … di tempat yang sering dikunjunginya.” (more…)

Hina Kelana: Bab 4. Keluar Pintu Lebih Dari Sepuluh Langkah: Mati

17/09/2009

Semula Cin-lam menduga ada orang mendadak binasa lagi, tetapi semalam orang-orang yang dikirim keluar untuk menyelidiki dan meronda itu seluruhnya ada 23 orang, masakah mungkin seluruhnya amblas?

Maka cepat ia tanya, “Apakah ada orang mati lagi? Besar kemungkinan mereka masih melakukan tugas penyelidikan dan belum sempat pulang lapor.”

Namun Piauthau itu menggeleng kepala dan menjawab, “Sudah … sudah diketemukan 17 sosok jenazah ….”

“Haaaah! 17 sosok jenazah?” Cin-lam dan Peng-ci menegas berbareng. (more…)

Hina Kelana: Bab 5. Ilmu Pukulan “Cui-sim-ciang” dari Jing-sia-pay

17/09/2009

Baru saja Peng-ci hendak menjawab, sekonyong-konyong di kamar senjata sebelah sana ada suara keletik yang perlahan. Dari celah-celah jendela juga tampak ada sinar lampu. Cepat ia melompat ke sana, ia colok kertas jendela dan mengintip ke dalam, segera ia berseru girang, “Ayah, kiranya engkau berada di sini?” Waktu itu Cin-lam mestinya lagi asyik entah apa yang dikerjakan dan menghadap ke sebelah sana, demi mendengar seruan Peng-ci segera ia berpaling. Hati Peng-ci tergetar demi lihat air muka sang ayah yang menampilkan rasa kejut dan ngeri, wajahnya yang berseri-seri karena telah menemukan sang ayah seketika lenyap, mulutnya sampai ternganga tak sanggup bicara. (more…)

Hina Kelana: Bab 06. Si Budak Bermuka Jelek dari Hoa-san-pay

17/09/2009

Diam-diam Cin-lam membatin, “Kabarnya Siong-hong-kiam-hoat (ilmu pedang angin meniup pohon Siong) Jing-sia-pay mereka mengutamakan gesit dan enteng sebagai angin serta ulet sebagai pohon Siong. Untuk bisa menang harapanku hanya mencari kesempatan untuk mendahului saja.”

Karena itu tanpa sungkan-sungkan lagi pedangnya lantas bergerak, kontan ia menebas dari samping dalam jurus “Kun-sia-pi-ih” (kawanan iblis terkocar-kacir) dari Pi-sia-kiam-hoat (ilmu pedang penghalau iblis).

Melihat sergapan Cin-lam yang cukup dahsyat itu, Jin-ho juga tidak berani menangkisnya secara keras lawan keras, cepat ia mengegos untuk menghindarkan diri. (more…)

Hina Kelana: Bab 07. Lebih Baik Mengemis daripada Mencuri

17/09/2009

Tapi diam-diam Pui Jin-ti berpikir, “Urusan ini benar-benar rada ganjil, rasanya perempuan ini tidak bakal menyuruh bocah she Lim ini minum racun kecuali kalau dia benar-benar gentar kepada Siong-hong-koan kami?” Mendadak pikirannya tergerak dan paham duduknya perkara, ia bergelak tertawa dan berkata, “Hahaha, ucapan nona ini seakan-akan menganggap kami berdua ini sebagai anak kecil umur tiga saja! Ketiga cawan itu hakikatnya berisi darah babi, darah anjing, masakan kau katakan arak Ho-ting-ang campur warangan apa segala? Kami cuma merasa muak untuk minum darah babi dan anjing yang kotor demikian itu, kalau benar-benar arak berbisa, jangankan cuma tiga cawan, biarpun 30 cawan juga akan kami minum dan kami tentu mempunyai obat penawar racunnya. Coba lihat, sesudah minum, anak jadah she Lim itu masih tetap segar bugar, apakah benar arakmu itu beracun? Huh, apakah nona kira kami begini gampang untuk dibohongi?” (more…)

Hina Kelana: Bab 08. Harta Karun di Dalam Peti

17/09/2009

“Rupanya kau tidak mengetahui persoalan ini,” ujar si orang she Sin dengan tertawa. “Sekali ini Lau Cing-hong merayakan pesta ‘cuci tangan’, tentu tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai golongan dan aliran akan ikut hadir. Maka hadiah kita ini bukan untuk mengambil hatinya Lau Cing-hong, tapi lebih tepat adalah untuk menonjolkan nama Jing-sia-pay kita agar mereka lebih kenal siapakah Jing-sia-pay.”

“O, ya, betapa pun memang Sin-suko lebih dapat berpikir panjang,” kata si orang she Kiat. “Hanya saja kalau … kalau kita pulang dengan tangan kosong, walaupun Suhu takkan marah, tapi kita … kita sendiri ….” (more…)

Hina Kelana: Bab 09. Suara Rebab Bok-taysiansing Mengejutkan Orang Banyak

17/09/2009

Melihat keadaan yang luar biasa itu, serentak beberapa puluh orang yang berada di rumah minum itu berkerumun maju dan beramai-ramai membicarakan kelihaian ilmu pedang orang tua itu.

Segera seorang di antaranya berkata kepada si pendek buntak tadi, “Untunglah tuan tua itu bermurah hati, kalau tidak buah kepalamu tentu sudah berpisah dengan tubuhmu seperti cawan ini.”

Tapi seorang lagi lantas menanggapi, “Ah, kukira seorang kosen seperti Losiansing ini tentu sungkan untuk berurusan dengan orang kecil sebagai kita.” (more…)

Hina Kelana: Bab 10. Jing-sia-pay Ternyata Pernah Dikalahkan Pi-sia-kiam-hoat

17/09/2009

“Lak-kau-ji, ingin kutanya kau, pada waktu Toasuko berteriak-teriak tentang ‘empat binatang dari Jing-sia’, tatkala itu kau ikut-ikut berteriak atau tidak?” demikian tanya seorang Suhengnya yang berbadan gede.

“Haha, jika begitu cara teriakan Toasuko, sudah tentu aku ikut-ikut memberi suara,” sahut Liok Tay-yu. “Memangnya kau malah ingin aku membantu pihak Jing-sia-pay dan memaki Toasuko?”

“Jika begitu hukuman rangket Suhu atas dirimu itu sedikit pun tidak keliru,” ujar si badan gede. (more…)